Rabu, 01 Januari 2014

MENGEMBANGANKAN KECAKAPAN PEMBELAJARAN BAHASA DI DALAM KELAS (Kajian Psikolinguistik)



Oleh:
Erfanda Hadi Prasetyo
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya
Abstrak :
Kegiatan berbahasa berlangsung secara mekanistik dan mentalistik, artinya kegiatan berbahasa berkaitan dengan proses atau kegiatan mental (otak) manusia sehingga studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi psikologi yang lazim disebut psikolinguistik. Obyek psikolinguistik adalah bahasa yakni bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala jiwa dan ruang lingkup psikolinguistik yakni bahasa dilihat dari aspek–aspek  psikologi dan sejauh  yang dapat dipikirkan oleh manusia. Hubungan bahasa dan pikiran adalah hubungan timbal balik bahwa bahasa membentuk pikiran dan sebaliknya pikiran membentuk bahasa. Bahasa merupakan medium paling penting bagi semua intekrasi manusia dan dalam banyak hal bahasa dapat disebut sebagai intisari dari fenomena sosial. Dalam pembelajaran bahasa di dalam kelas, yang dipelajari ialah suatu keterampilan menggunakan unsur-unsur bahasa untuk berkomunikasi. Pembelajaran bahasa seperti ini adalah usaha membuat pelajar terampil menggunakan unsur bahasa secara wajar untuk berkomunikasi. Sehingga pembelajaran bahasa hendaknya bukan dimaksudkan agar murid hanya menguasai bahasa itu sebagai suatu sestem belaka yang berdiri sendiri, hingga sampai pada apa yang disebut taraf penguasaan keterampilan memanipulasi bahasa saja. Menghadapi realitas pengunaan bahasa demikian, pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja bagaimana mengajar bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak didik yang mampu berbahasa dengan baik dan benar tetapi lebih dari itu.
Kata kunci: Psikolinguistik , bahasa, pikiran, pembelajaran.

I. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang tidak disertai dengan kehadiran bahasa. Sebagai alat intekrasi verbal, bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal kajian dilakukan terhadap struktur internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis, sampai stuktur wacana. Kajian secara eksternal berkaitan dengan hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor atau hal yang ada diluar bahasa seperti sosial, psikologi, etnis, seni, dan sebagainya.
Dewasa ini tuntutan kebutuhan dalam kehidupan telah menyebabkan perlunya dilakukan kajian bersama antara dua disiplin ilmu atau lebih. Kajian antara disiplin ini diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang semakin kompleks. Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah komplek manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. (Chaer, hal 1: 2003) menyatakan bahwa “kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung mekanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik, artinya kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dalam proses atau kegiatan mental (otak).” Dalam makalah sederhana ini akan dipaparkan tentang pengertian psikolinguistik, obyek dan ruang lingkupnya, subdisiplin ilmu psikolinguistik dan secara gamblang akan diungkapkan juga tentang bagaimana hubungan bahasa dengan pikiran (otak) manusia serta kaitan dengan pembelajaran bahasa terutama dalam bahasa asing dan kegagalan pendidikan dalam pengajaran.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikolinguistik
Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya. Hanya obyek materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa sedangkan psikologi mengkaji prilaku berbahasa atau proses berbahasa. Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik  adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain psikolinguistik mencoba menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat peneturan itu.
Dikaitkan dengan komunikasi, psikolinguistik memusatkan perhatian pada modifikasi pesan selama berlangsungnya komunikasi dalam hubungan dengan ujaran dan penerimaan atau pemahaman ujaran dalam situasi tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa obyek psikolinguistik adalah bahasa juga, tetapi bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dengan gejala jiwa. Dengan kata lain, bahasa yang dilihat dari aspek-aspek psikologi. Orang yang sedang marah akan lain perwujudan bahasanya yang digunakan dengan orang yang sedang bergembira. Titik berat psikolinguistik adalah bahasa, dan bukan gejala jiwa. Itu sebabnya dalam batasan- batasan psikolinguistik selalu ditonjolkan proses bahasa yang terjadi pada otak, baik proses yang terjadi diotak pembicara maupun proses yang terjadi diotak pendengar.
2.2 Bahasa Dan Pikiran
Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa digunakan untuk mengungkapkan pikiran. Seseorang yang sedang memikirkan sesuatu kemudian ingin menyampaikan hasil pemikiran itu, ia mengunakan alat dalam hal ini bahasa. (Langacker dalam Ghazali: 2010) mengatakan “ berfikir adalah aktifitas mental manusia”. Aktivitas mental ini akan berlangsung apabila ada stimulus artinya ada sesuatu yang menyebabkan manusia untuk berfikir. Dalam kaitan ini pikiran dikondisikan oleh kategorik linguistik dan pengalaman yang dikodekan dalam wujud konsep kata yang telah tersedia. Seorang sarjana terkenal yang melihat hubungan bahasa dengan pikiran yakni Benjamin Whorf yang bersama-sama dengan Edward Sapir mengemukakan hipotesis yang terkenal dengan nama Hipotesis Whorf-Sapir (Sapir Whorf Hypouthesis dalam Chaer hal: 54) menyatakan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat ditentukan oleh struktur bahasanya.
Bahasa dapat memperluas pikiran. Dalam hal seperti ini seseorang harus banyak bergaul dan banyak membaca yang menyebabkan pandangan dan pikirannya bertambah luas. Pergaulan kita dengan para ilmuwan, kegiatan seseorang banyak membaca pasti akan memperluaskan wawasan dan pikiran tentang banyak hal. Ketika seseorang mendengar pidato atau ceramah tentu banyak istilah atau konsep yang ia dengar. Konsep dan istilah-istilah itu menambah pembendaharaan bahasanya sekaligus memperluas pikirannya. Demikian pula dengan kegiatan membaca, apa yang belum diketahui akan diketahui, bahkan apa yang telah diketahui akan lebih mendalam dan meluas, dengan kata lain pikiran bertambah luas karena aktivitas yang berhubungan dengan bahasa, dengan menguasai banyak bahasa pikiran bertambah luas.
2.3 Budaya dan Pikiran
Disemua budaya terdapat hubungan antara pikiran dan budaya. Ketika anak mulai belajar bahasa orang tuanya, mereka juga mulai belajar menyesuaikan diri dengan budaya orang tuanya. Ini yang disebut dengan Proses Inkulturasi. Pada saat ini anak mulai belajar dialek orang tua dan teman bermainnya. Bagi peminat bahasa memahami hubungan antara bahasa dan budaya dan melihat bagaimana keduanya berintekrasi tentu sangat penting. Terkait dengan dialek, para ahli sampai kepada kesepakatan bahwa tidak ada pertanyaan yang begitu menarik pada study linguistik selain sejauh mana bahasa atau dialek mempengaruhi bagaimana seseorang berfikir. Dalam dunia pendidikan, orang berasumsi bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang. Bahasa dianggap sebagai faktor utama yang menentukan lancar tidaknya nalar atau pikiran seseorang. Sedangkan yang lain berasumsi bahwa bahasa hanya mempengaruhi atau tidak menentukan pikiran seseorang. hubungan  antara bahasa dan pikiran adalah hubungan timbal-balik, dimana tidak hanya bahasa yang membentuk atau menentukan pikiran, namun pikiran juga membentuk bahasa. Seseorang memerlukan bahasa untuk mengungkapkan pikiran-pikiran yang ada diotaknya, begitu juga sebaliknya dalam berbahasa diperlukan pikiran sehingga proses berbahasa itu dapat berlangsung dengan baik.
2.4 Peran Psikolinguistik Pada Pembelajaran Bahasa
Pengajaran bahasa disini maksudnya adalah usaha pengajar (guru, dosen, instruktur) dan lembaga untuk membantu orang belajar bahasa. Dalam definisi seperti ini yang menjadi pusat perhatian adalah “belajar” dan semua kegiatan pengajar dan materi pelajaran yang memungkinkan dan membantu kegiatan belajar itu adalah pemudahan. Proses dan hasil dari usaha seperti ini oleh banyak orang lebih suka disebut dengan pembelajaran daripada pengajaran. Implikasinya ialah bahwa makin banyak perhatian diberikan pada materi pelajaran dan motivasi pelajar dan makin berkurang pada metode dan teknik mengajar, dalam arti memanipulasi atau mengatur tindakan pelajar secara mekanis. Kalau seseorang belajar, tentu ada yang dipelajarinya. Dalam belajar bahasa, yang dipelajari ialah suatu “keterampilan menggunakan unsur-unsur bahasa untuk berkomunikasi”. Pembelajaran bahasa seperti ini adalah usaha membuat pelajar terampil menggunakan unsur bahasa secara wajar untuk berkomunikasi.
Bahasa merupakan cirri khas manusia dan hal itu merupakan hal yang komplek dan merupakan obyek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam sesuai dengan pandangan ilmuwan yang mempelajarinya. Bagi ahli filsafat, bahasa mungkin merupakan alat untuk berfikir, bagi ahli logika mungkin suatu kalkulus, bagi ahli ilmu jiwa mungkin jendela yang kabur untuk dapat ditembus guna melihat proses berfikir dan ahli untuk bahasa suatu system lambang yang arbitrer. Dengan begitu bahasa juga dapat diselidiki secara berbeda pula misalnya sebagai gejala individu ataupun gejala sosial. Dalam hal ini yang pertama penyelidikan bahasa itu merupakan bagian dari ilmu jiwa umum, sehingga kategori-kategori deskriptif seperti ingatan, keterampilan dan persepsi dapat dipakai untuk menerangkan tingkah laku yang bersifat kebahasaan maupun non kebahasaan. Sebagai gejala sosial, bahasa merupakan bagian dari sosiologi umum, sehingga kategori-kategori deskriptif yang dipakai untuk menerangkan bahasa adalah istilah sosiologi pula seperti struktur sosial kebudayaan, status dan peranan dan sebagainya.
Bahasa terdiri dari dua aspek yakni aspek pengetahuan dan aspek keterampilan, yang keduanya harus diperhatikan dan dikembangkan dalam Pembelajaran Bahasa (Ghazali: 2010). Murid yang telah memahami kaidah, baik itu melalui penjelasan atau bimbingan guru agar murid menemukan sendiri, segera saja diberi kesempatan untuk mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Guru tidak dianjurkan untuk banyak berteori mengenai bahasa, karena Pembelajaran Bahasa lebih ditekankan pada penggunaan bahasa dalam pergaulan antar manusia, mengingat bahasa adalah juga suatu gejala sosial. Inilah suatu prinsip yang ditekankan oleh Ilmu Psikolinguistik maupun Sosiolinguistik.
Ilmu psikolinguistik mengajarkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan maksud pikiran atau perasaan. Sehingga pembelajaran bahasa hendaknya bukan dimaksudkan agar murid hanya menguasai bahasa itu sebagai suatu sestem belaka yang berdiri sendiri, hingga sampai pada apa yang disebut taraf penguasaan keterampilan memanipulasi bahasa saja. Banyak guru bahasa yang mengeluh bahwa murid yang telah sampai pada taraf penguasaan keterampilan bahasa (skill getting phase) yakni mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Mungkin ini disebabkan oleh perhatian guru yang terlalu menitik beratkan pada kemampuan murid menghasilkan kalimat yang betul secara gramatikal, sehingga kurang memberi kesempatan pada murid untuk menyatakan kemampuan atau isis hati dengan kalimat yang telah dipelajari itu.
Berdasarkan pengalaman ini sebaiknya latihan berkomunikasi diberikan sedini mungkin, bila perlu bersamaan dengan latihan kebahasaan untuk membuat kaliamat yang betul. Disinilah letak seninya, guru dituntut untuk dapat kreatif dan inovatif dalam menciptakan situasi yang serasi dengan kemampuan murid, agar murid terdorong melatih menggunakan bahasa sasaran sebagai media komunikasi. Adapun pertimbangan penerapan psikolinguistik pada pembelajaran bahasa adalah pada :
·           Kelompok pembuat dan penentu kebijaksanaan bahasa. Selain pertimbangan psikolingusitik juga pertimbangan sosiolinguistik.
·           Kelompok pendidik Guru. Pendidik guru harus dapat memberikan informasi tentang metode dan teknik baru yang efektif dalam pengajaran bahasa.
·           Kelompok guru. Guru akan melihat konsekuensi pengajaran bahasa. Hasil atau konsekuensi ini ditentukan oleh interaksi ( a) guru, ( b) siswa,( c ) metode dan teknik, (d ) materi dan isi pengajaran bahasa.
·           Kelompok penguasaan alat-alat pendidikan khususnya pengajaran bahasa. Dengan kemajuan teknologi, alat Bantu pengajaran pun dikembangkan.
Dengan adanya berbagai pertimbangan diatas, hendaknya dapat kita upayakan bahwa dalam pembelajaran bahasa diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk merealisasikan sebuah hasil kongkrit yang mungkin sampai saat ini kurang yakni pertimbangan psikolinguistik sebagai suatu ilmu yang mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam berkomunikasi. Dari paparan diatas dapat kita garis bawahi bahwa psikolinguistik sebagai bidang ilmu yang menitikberatkan pada penerapan bahasa secara actual dan komunikasi harus bisa terwujud. Tentunya dengan dukungan berbagai pihak, sebab dalam belajar bahasa asing perlu diberikan asumsi bahwa belajar bahasa asing itu mudah. Dan yang harus kita lakukan adalah menerpkan berbagai metode dan pendekatan yang memungkinkan siswa mudah memahaminya. Satu yang tak dapat kita pungkiri bahwa bahasa merupakan satu bentuk kebiasaan.
2.5 Fenomena yang Terjadi di dalam Kelas Pembelajaran Bahasa
Sebagai salah satu institusi yang paling bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, pendidikan kita tampaknya gagal mengembangkan daya imajinatif peserta didik. Pengajaran bahasa masih sarat dengan muatan struktur yang mengakibatkan anak didik terbiasa berfikir structural. Padahal struktur hanya bagian kecil dari bahasa. Sedangkan pengajaran sastra seperti dongeng, drama, roman sejarah dan sejenisnya belum berhasil membangun watak dan jati diri anak didik dan mengembangkan daya kreatifitas mereka. Padahal lewat sastra kita bisa mengasah kemahiran bahasa, melalui dongeng bisa dikembangkan kesadaran bahwa hidup ini tidak mudah dan penuh cobaan dan toh manusia bisa mengatasinya asal memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi. Lewat roman sejarah bisa dikembangkan persoalan kemasyarakatan, sebab roman sejarah bukan hanya memberi informasi tentang peristiwa atau keadaan social, budaya ekonomi tentang peristiwa atau keadaan social budaya ekonomi politik masa lalu, melainkan juga menumbuhkan ikatan bathin suatu bangsa dengan masa lalunya.
Kegagalan pengajaran bahasa kepada anak didik kita telah melahirkan pemakai-pemakai bahasa yang tidak bermatabat, sehingga yang terjadi adalah prilaku berbahasa yang jauh dari nilai estetika karena mengandalkan emosi dan ambisi pribadi. Bahasa menjadi piranti saling hujat dan menjatuhkan sebagaimana kita saksikan pada realitas berbahasa masyarakat kita akhir-akhir ini. Padahal kesatunan, prilaku bahkan tingkat kemajuan kehidupan atau peradaban suatu bangsa terlihat dari bahasanya. Kekayaan kosakata suatu bahasa memperhatikan kemajuan peradaban bangsa pemiliknya. Sementara itu, keteraturan dan ketataasasan kaedah berbahasa kita mengalami persoalan yang cukup serius. Kita dapat mencermati dalam masyarakat betapa kata-kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan sangat jelas, tetapi diucapkan dengan salah. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan misalnya psikologi diucapkan saikoloji. Menghadapi realitas pengunaan bahasa demikian, pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja bagaimana mengajar bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak didik yang mampu berbahasa dengan baik dan benar tetapi lebih dari itu adalah bagaimana menanamkan gambaran kebangsaan kepada anak didik.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Belajar adalah interaksi antara pembelajar dengan lingkugan (makro dan mikro), melalui akomodasi (reseptif, memahami, masa diam) dan asimilasi. Peranan Guru dan orang tua adalah sebagai pencipta kondisi lingkungan yang kondusif, pemotivasi, narasumber. Dalam berbahasa yang ditunjang oleh faktor lingkungan sangat memberikan dampak yang sangat besar dalam proses pemerolehan bahasa pertama (B1). Pemberian figur berbahasa yang baik oleh orang tua yang baik diperkuat dengan guru sebagai contoh berbahasa yang baik dan benar di sekolah, maka anak akan mempunyai bekal dalam mempelajari pemerolehan bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
3.1 Saran
Seorang pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja bagaimana mengajar bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak didik yang mampu berbahasa dengan baik dan benar tetapi juga harus mampu membimbing peserta didik dalam kesopanan berkomunikasi.




Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2003.  Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. ECHA, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Guntur, Herry, Taringan. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
---------------------------. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa: dengan pendekatan komunikatif-interaktif. Bandung: Refika Aditama.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar