Oleh:
Erfanda Hadi Prasetyo
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya
Abstrak
:
Kegiatan berbahasa berlangsung secara mekanistik dan
mentalistik, artinya kegiatan berbahasa berkaitan dengan proses atau kegiatan
mental (otak) manusia sehingga studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi
psikologi yang lazim disebut psikolinguistik. Obyek psikolinguistik adalah
bahasa yakni bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam
gejala jiwa dan ruang lingkup psikolinguistik yakni bahasa dilihat dari aspek–aspek psikologi dan sejauh yang dapat dipikirkan oleh manusia. Hubungan
bahasa dan pikiran adalah hubungan timbal balik bahwa bahasa membentuk pikiran
dan sebaliknya pikiran membentuk bahasa. Bahasa merupakan medium paling penting
bagi semua intekrasi manusia dan dalam banyak hal bahasa dapat disebut sebagai
intisari dari fenomena sosial. Dalam pembelajaran bahasa di dalam kelas, yang dipelajari ialah suatu
keterampilan menggunakan unsur-unsur bahasa untuk berkomunikasi. Pembelajaran
bahasa seperti ini adalah usaha membuat pelajar terampil menggunakan unsur
bahasa secara wajar untuk berkomunikasi. Sehingga pembelajaran bahasa hendaknya
bukan dimaksudkan agar murid hanya menguasai bahasa itu sebagai suatu sestem
belaka yang berdiri sendiri, hingga sampai pada apa yang disebut taraf
penguasaan keterampilan memanipulasi bahasa saja. Menghadapi realitas pengunaan
bahasa demikian, pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja
bagaimana mengajar bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak
didik yang mampu berbahasa dengan baik dan benar tetapi lebih dari itu.
Kata
kunci: Psikolinguistik , bahasa, pikiran, pembelajaran.
I.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan
satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat
dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan
pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala
aspek dan kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang tidak
disertai dengan kehadiran bahasa. Sebagai alat intekrasi verbal, bahasa dapat
dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal kajian dilakukan terhadap
struktur internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi,
sintaksis, sampai stuktur wacana. Kajian secara eksternal berkaitan dengan
hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor atau hal yang ada diluar bahasa
seperti sosial, psikologi, etnis, seni, dan sebagainya.
Dewasa ini tuntutan kebutuhan dalam
kehidupan telah menyebabkan perlunya dilakukan kajian bersama antara dua
disiplin ilmu atau lebih. Kajian antara disiplin ini diperlukan untuk mengatasi
berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang semakin kompleks. Pembelajaran
bahasa, sebagai salah satu masalah komplek manusia, selain berkenaan dengan
masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. (Chaer, hal
1: 2003) menyatakan bahwa “kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung
mekanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik, artinya kegiatan
berbahasa itu berkaitan juga dalam proses atau kegiatan mental (otak).” Dalam
makalah sederhana ini akan dipaparkan tentang pengertian psikolinguistik, obyek
dan ruang lingkupnya, subdisiplin ilmu psikolinguistik dan secara gamblang akan
diungkapkan juga tentang bagaimana hubungan bahasa dengan pikiran (otak)
manusia serta kaitan dengan pembelajaran bahasa terutama dalam bahasa asing dan
kegagalan pendidikan dalam pengajaran.
2.1 Pengertian Psikolinguistik
Secara
etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata
linguistik yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri
sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama
meneliti bahasa sebagai obyek formalnya. Hanya obyek materinya yang berbeda,
linguistik mengkaji struktur bahasa sedangkan psikologi mengkaji prilaku berbahasa
atau proses berbahasa. Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses
psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang
didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu
diperoleh oleh manusia. Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara
linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa
dan pemerolehannya. Dengan kata lain psikolinguistik mencoba menerangkan
hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada
waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat peneturan itu.
Dikaitkan
dengan komunikasi, psikolinguistik memusatkan perhatian pada modifikasi pesan
selama berlangsungnya komunikasi dalam hubungan dengan ujaran dan penerimaan
atau pemahaman ujaran dalam situasi tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa obyek psikolinguistik adalah bahasa juga, tetapi bahasa yang berproses
dalam jiwa manusia yang tercermin dengan gejala jiwa. Dengan kata lain, bahasa
yang dilihat dari aspek-aspek psikologi. Orang yang sedang marah akan lain
perwujudan bahasanya yang digunakan dengan orang yang sedang bergembira. Titik
berat psikolinguistik adalah bahasa, dan bukan gejala jiwa. Itu sebabnya dalam
batasan- batasan psikolinguistik selalu ditonjolkan proses bahasa yang terjadi
pada otak, baik proses yang terjadi diotak pembicara maupun proses yang terjadi
diotak pendengar.
2.2 Bahasa Dan Pikiran
Kenyataan
menunjukkan bahwa bahasa digunakan untuk mengungkapkan pikiran. Seseorang yang
sedang memikirkan sesuatu kemudian ingin menyampaikan hasil pemikiran itu, ia
mengunakan alat dalam hal ini bahasa. (Langacker dalam Ghazali: 2010)
mengatakan “ berfikir adalah aktifitas mental manusia”. Aktivitas mental ini
akan berlangsung apabila ada stimulus artinya ada sesuatu yang menyebabkan
manusia untuk berfikir. Dalam kaitan ini pikiran dikondisikan oleh kategorik
linguistik dan pengalaman yang dikodekan dalam wujud konsep kata yang telah
tersedia. Seorang sarjana terkenal yang melihat hubungan bahasa dengan pikiran
yakni Benjamin Whorf yang bersama-sama dengan Edward Sapir mengemukakan
hipotesis yang terkenal dengan nama Hipotesis Whorf-Sapir (Sapir Whorf Hypouthesis
dalam Chaer hal: 54) menyatakan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat
ditentukan oleh struktur bahasanya.
Bahasa
dapat memperluas pikiran. Dalam hal seperti ini seseorang harus banyak bergaul
dan banyak membaca yang menyebabkan pandangan dan pikirannya bertambah luas.
Pergaulan kita dengan para ilmuwan, kegiatan seseorang banyak membaca pasti
akan memperluaskan wawasan dan pikiran tentang banyak hal. Ketika seseorang
mendengar pidato atau ceramah tentu banyak istilah atau konsep yang ia dengar.
Konsep dan istilah-istilah itu menambah pembendaharaan bahasanya sekaligus
memperluas pikirannya. Demikian pula dengan kegiatan membaca, apa yang belum
diketahui akan diketahui, bahkan apa yang telah diketahui akan lebih mendalam
dan meluas, dengan kata lain pikiran bertambah luas karena aktivitas yang
berhubungan dengan bahasa, dengan menguasai banyak bahasa pikiran bertambah
luas.
2.3 Budaya dan Pikiran
Disemua
budaya terdapat hubungan antara pikiran dan budaya. Ketika anak mulai belajar
bahasa orang tuanya, mereka juga mulai belajar menyesuaikan diri dengan budaya
orang tuanya. Ini yang disebut dengan Proses Inkulturasi. Pada saat ini anak
mulai belajar dialek orang tua dan teman bermainnya. Bagi peminat bahasa
memahami hubungan antara bahasa dan budaya dan melihat bagaimana keduanya
berintekrasi tentu sangat penting. Terkait dengan dialek, para ahli sampai
kepada kesepakatan bahwa tidak ada pertanyaan yang begitu menarik pada study
linguistik selain sejauh mana bahasa atau dialek mempengaruhi bagaimana seseorang
berfikir. Dalam dunia pendidikan, orang berasumsi bahwa bahasa menentukan
pikiran seseorang. Bahasa dianggap sebagai faktor utama yang menentukan lancar
tidaknya nalar atau pikiran seseorang. Sedangkan yang lain berasumsi bahwa
bahasa hanya mempengaruhi atau tidak menentukan pikiran seseorang. hubungan antara bahasa dan pikiran adalah hubungan
timbal-balik, dimana tidak hanya bahasa yang membentuk atau menentukan pikiran,
namun pikiran juga membentuk bahasa. Seseorang memerlukan bahasa untuk
mengungkapkan pikiran-pikiran yang ada diotaknya, begitu juga sebaliknya dalam
berbahasa diperlukan pikiran sehingga proses berbahasa itu dapat berlangsung
dengan baik.
2.4 Peran Psikolinguistik Pada Pembelajaran
Bahasa
Pengajaran
bahasa disini maksudnya adalah usaha pengajar (guru, dosen, instruktur) dan lembaga
untuk membantu orang belajar bahasa. Dalam definisi seperti ini yang menjadi
pusat perhatian adalah “belajar” dan semua kegiatan pengajar dan materi
pelajaran yang memungkinkan dan membantu kegiatan belajar itu adalah pemudahan.
Proses dan hasil dari usaha seperti ini oleh banyak orang lebih suka disebut
dengan pembelajaran daripada pengajaran. Implikasinya ialah bahwa makin banyak
perhatian diberikan pada materi pelajaran dan motivasi pelajar dan makin
berkurang pada metode dan teknik mengajar, dalam arti memanipulasi atau
mengatur tindakan pelajar secara mekanis. Kalau seseorang belajar, tentu ada
yang dipelajarinya. Dalam belajar bahasa, yang dipelajari ialah suatu
“keterampilan menggunakan unsur-unsur bahasa untuk berkomunikasi”. Pembelajaran
bahasa seperti ini adalah usaha membuat pelajar terampil menggunakan unsur
bahasa secara wajar untuk berkomunikasi.
Bahasa
merupakan cirri khas manusia dan hal itu merupakan hal yang komplek dan
merupakan obyek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam sesuai dengan
pandangan ilmuwan yang mempelajarinya. Bagi ahli filsafat, bahasa mungkin
merupakan alat untuk berfikir, bagi ahli logika mungkin suatu kalkulus, bagi
ahli ilmu jiwa mungkin jendela yang kabur untuk dapat ditembus guna melihat
proses berfikir dan ahli untuk bahasa suatu system lambang yang arbitrer. Dengan
begitu bahasa juga dapat diselidiki secara berbeda pula misalnya sebagai gejala
individu ataupun gejala sosial. Dalam hal ini yang pertama penyelidikan bahasa
itu merupakan bagian dari ilmu jiwa umum, sehingga kategori-kategori deskriptif
seperti ingatan, keterampilan dan persepsi dapat dipakai untuk menerangkan
tingkah laku yang bersifat kebahasaan maupun non kebahasaan. Sebagai gejala sosial,
bahasa merupakan bagian dari sosiologi umum, sehingga kategori-kategori
deskriptif yang dipakai untuk menerangkan bahasa adalah istilah sosiologi pula
seperti struktur sosial kebudayaan, status dan peranan dan sebagainya.
Bahasa
terdiri dari dua aspek yakni aspek pengetahuan dan aspek keterampilan, yang
keduanya harus diperhatikan dan dikembangkan dalam Pembelajaran Bahasa
(Ghazali: 2010). Murid yang telah memahami kaidah, baik itu melalui penjelasan
atau bimbingan guru agar murid menemukan sendiri, segera saja diberi kesempatan
untuk mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Guru tidak dianjurkan untuk
banyak berteori mengenai bahasa, karena Pembelajaran Bahasa lebih ditekankan
pada penggunaan bahasa dalam pergaulan antar manusia, mengingat bahasa adalah
juga suatu gejala sosial. Inilah suatu prinsip yang ditekankan oleh Ilmu
Psikolinguistik maupun Sosiolinguistik.
Ilmu
psikolinguistik mengajarkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi untuk
menyampaikan maksud pikiran atau perasaan. Sehingga pembelajaran bahasa
hendaknya bukan dimaksudkan agar murid hanya menguasai bahasa itu sebagai suatu
sestem belaka yang berdiri sendiri, hingga sampai pada apa yang disebut taraf
penguasaan keterampilan memanipulasi bahasa saja. Banyak guru bahasa yang
mengeluh bahwa murid yang telah sampai pada taraf penguasaan keterampilan
bahasa (skill getting phase) yakni mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi
sehari-hari. Mungkin ini disebabkan oleh perhatian guru yang terlalu menitik
beratkan pada kemampuan murid menghasilkan kalimat yang betul secara
gramatikal, sehingga kurang memberi kesempatan pada murid untuk menyatakan
kemampuan atau isis hati dengan kalimat yang telah dipelajari itu.
Berdasarkan
pengalaman ini sebaiknya latihan berkomunikasi diberikan sedini mungkin, bila
perlu bersamaan dengan latihan kebahasaan untuk membuat kaliamat yang betul.
Disinilah letak seninya, guru dituntut untuk dapat kreatif dan inovatif dalam
menciptakan situasi yang serasi dengan kemampuan murid, agar murid terdorong
melatih menggunakan bahasa sasaran sebagai media komunikasi. Adapun pertimbangan
penerapan psikolinguistik pada pembelajaran bahasa adalah pada :
·
Kelompok
pembuat dan penentu kebijaksanaan bahasa. Selain pertimbangan psikolingusitik
juga pertimbangan sosiolinguistik.
·
Kelompok
pendidik Guru. Pendidik guru harus dapat memberikan informasi tentang metode
dan teknik baru yang efektif dalam pengajaran bahasa.
·
Kelompok
guru. Guru akan melihat konsekuensi pengajaran bahasa. Hasil atau konsekuensi
ini ditentukan oleh interaksi ( a) guru, ( b) siswa,( c ) metode dan teknik, (d
) materi dan isi pengajaran bahasa.
·
Kelompok
penguasaan alat-alat pendidikan khususnya pengajaran bahasa. Dengan kemajuan
teknologi, alat Bantu pengajaran pun dikembangkan.
Dengan
adanya berbagai pertimbangan diatas, hendaknya dapat kita upayakan bahwa dalam
pembelajaran bahasa diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk merealisasikan
sebuah hasil kongkrit yang mungkin sampai saat ini kurang yakni pertimbangan
psikolinguistik sebagai suatu ilmu yang mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa
itu secara aktual dalam berkomunikasi. Dari paparan diatas dapat kita garis
bawahi bahwa psikolinguistik sebagai bidang ilmu yang menitikberatkan pada
penerapan bahasa secara actual dan komunikasi harus bisa terwujud. Tentunya
dengan dukungan berbagai pihak, sebab dalam belajar bahasa asing perlu
diberikan asumsi bahwa belajar bahasa asing itu mudah. Dan yang harus kita
lakukan adalah menerpkan berbagai metode dan pendekatan yang memungkinkan siswa
mudah memahaminya. Satu yang tak dapat kita pungkiri bahwa bahasa merupakan
satu bentuk kebiasaan.
2.5 Fenomena yang Terjadi di dalam
Kelas Pembelajaran Bahasa
Sebagai
salah satu institusi yang paling bertanggung jawab dalam pembinaan dan
pengembangan bahasa, pendidikan kita tampaknya gagal mengembangkan daya
imajinatif peserta didik. Pengajaran bahasa masih sarat dengan muatan struktur
yang mengakibatkan anak didik terbiasa berfikir structural. Padahal struktur
hanya bagian kecil dari bahasa. Sedangkan pengajaran sastra seperti dongeng,
drama, roman sejarah dan sejenisnya belum berhasil membangun watak dan jati
diri anak didik dan mengembangkan daya kreatifitas mereka. Padahal lewat sastra
kita bisa mengasah kemahiran bahasa, melalui dongeng bisa dikembangkan
kesadaran bahwa hidup ini tidak mudah dan penuh cobaan dan toh manusia bisa mengatasinya
asal memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi. Lewat roman sejarah bisa
dikembangkan persoalan kemasyarakatan, sebab roman sejarah bukan hanya memberi
informasi tentang peristiwa atau keadaan social, budaya ekonomi tentang
peristiwa atau keadaan social budaya ekonomi politik masa lalu, melainkan juga
menumbuhkan ikatan bathin suatu bangsa dengan masa lalunya.
Kegagalan
pengajaran bahasa kepada anak didik kita telah melahirkan pemakai-pemakai
bahasa yang tidak bermatabat, sehingga yang terjadi adalah prilaku berbahasa
yang jauh dari nilai estetika karena mengandalkan emosi dan ambisi pribadi.
Bahasa menjadi piranti saling hujat dan menjatuhkan sebagaimana kita saksikan
pada realitas berbahasa masyarakat kita akhir-akhir ini. Padahal kesatunan, prilaku
bahkan tingkat kemajuan kehidupan atau peradaban suatu bangsa terlihat dari
bahasanya. Kekayaan kosakata suatu bahasa memperhatikan kemajuan peradaban
bangsa pemiliknya. Sementara itu, keteraturan dan ketataasasan kaedah berbahasa
kita mengalami persoalan yang cukup serius. Kita dapat mencermati dalam
masyarakat betapa kata-kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan sangat
jelas, tetapi diucapkan dengan salah. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan
misalnya psikologi diucapkan saikoloji. Menghadapi realitas pengunaan bahasa
demikian, pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja bagaimana
mengajar bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak didik yang
mampu berbahasa dengan baik dan benar tetapi lebih dari itu adalah bagaimana
menanamkan gambaran kebangsaan kepada anak didik.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Belajar
adalah interaksi antara pembelajar dengan lingkugan (makro dan mikro), melalui
akomodasi (reseptif, memahami, masa diam) dan asimilasi. Peranan Guru dan orang
tua adalah sebagai pencipta kondisi lingkungan yang kondusif, pemotivasi, narasumber.
Dalam berbahasa yang ditunjang oleh faktor lingkungan sangat memberikan dampak
yang sangat besar dalam proses pemerolehan bahasa pertama (B1). Pemberian figur
berbahasa yang baik oleh orang tua yang baik diperkuat dengan guru sebagai
contoh berbahasa yang baik dan benar di sekolah, maka anak akan mempunyai bekal
dalam mempelajari pemerolehan bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
3.1 Saran
Seorang
pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja bagaimana mengajar
bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak didik yang mampu
berbahasa dengan baik dan benar tetapi juga harus mampu membimbing peserta
didik dalam kesopanan berkomunikasi.
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. ECHA, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Guntur, Herry, Taringan. 1986. Psikolinguistik.
Bandung: Angkasa.
---------------------------. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa: dengan pendekatan
komunikatif-interaktif. Bandung: Refika Aditama.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Pengantar
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar