Rabu, 26 Juni 2013

analisis puisi takut 66, takut 98 (pendekatan sosiologis)


TAKUT 66, TAKUT 98 (1998)
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut '66, takut '98 - 1998
Biografi Tokoh Sastra Indonesia
TAUFIQ ISMAIL
Taufiq Ismail, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 umur 76 tahun, ialah seorang sastrawan Indonesia. Dilahirkan di Bukittinggi, menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.        
Penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI (1970) yang menulis Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999). Ia adalah Pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini berobsesi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi. Taufiq Ismail, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963, sekarang Institut Pertanian Bogor. Selain telah menerima Anugerah Seni Pemerintah RI juga menerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57).
               Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
 Taufiq sudah bercita-cita jadi sastrawan sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Dia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca, sehingga dia sejak kecil sudah suka membaca.
             Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufiq menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan. Sambil menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama.
             Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sanga menyukai novel Hemingway The Old Man and The Sea.
            Namun setelah lulus SMA, Taufiq menggumuli profesi lain untuk mengamankan urusan dapur, seraya dia terus mengasah kemampuannya di bidang sastra. Dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor, lulus 1963. Semula dia berobsesi menjadi pengusaha peternakan untuk menafkahi karir kepenyairannya, namun dengan bekerja di PT Unilever Indonesia, dia bisa memenuhi kebutuhan itu.
            Taufiq menikah dengan Esiyati  tahun 1971. Mereka dikaruniai satu anak, yang diberinya nama: Abraham Ismail. Dia sangat bangga dengan dukungan isterinya dalam perjalanan karir. Esiyati sangat memahami profesi, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan. Taufiq bersama sejumlah sastrawan lain, berobsesi memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab”. Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation.
Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, di antaranya: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.); Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970); Tirani (1966); Puisi-puisi Sepi (1971); Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971); Buku Tamu Museum Perjuangan (1972); Sajak Ladang Jagung (1973); Puisi-puisi Langit (1990); Tirani dan Benteng (1993); dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Dia pun sudah menerima penghargaan: - American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57); - Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970; dan - SEA Write Award (1997). Beliau mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).
Keadaan Tahun 1998
Sejarah Reformasi 1998 - Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Bermodalkan kesadaran kritis, mahasiswa menyatakan keprihatinannya dan keberpihakan kepada penderitaan rakyat. Mereka juga rela berkorban jiwa raga menumbangkan kediktatoran demi Indonesia baru yang demokratis dan lebih baik. Begitu proses transisi selesai, dengan tertib mahasiswa turun panggung. Pengemban sejati amanah rakyat. Pada masa orde baru nasib mahasiswa ditekan oleh oknum-oknum kepercayaan Soeharto, hingga terjadinya penculikan, pembungkaman suara mahasiswa oleh pemerintah.
Penerapan Pendekatan Historis
Pendekatan historis menelusuri arti dan makna bahasa sebagaimana yang ditulis penyair dalam puisinya, bagaimana hubungan puisi tersebut dengan sejarah dan relevansinya sebagai dokumen sosial (Junus,1986). Dengan demikian puisi dianggap mewakili zamannya. Dalam puisi di atas pendekatan historis yang pertama kali dilakukan adalah mengidentifikasi tahun penciptaan puisi. Puisi karya Taufiq ismail ini diciptakan pada tahun 1998, selanjutnya langkah kedua adalah mencari hubungan antara peristiwa kesejarahan pada tahun penciptaan puisi tersebut dengan gagasan dalam suatu puisi. Peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi terwujudnya cipta sastra puisi yang berjudul Takut 66’, Takut 98’ oleh taufik ismail adalah menunjukkan terjadinya suatu peristiwa politik yaitu masa reformasi yang terjadi pada mei 1998 yang mana pada tahun tersebut merupakan protes politik terhadap adanya masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1966, sehingga pada tahun 1988 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi pemerintahan. Saat itu mulailah masa reformasi 1988. Salah satu bagian penerapan pendekatan historis dalam mengapresiasi unsur-unsur kesejarahan dalam puisi adalah pembicaraan mengenai biografi pengarang. Pembahasan tantang hubungan antara kehidupan pengarang dengan gagasan yang terdapat dalam suatu puisi yang diciptakannya sangatlah berhubungan erat denga kehidupan pengarang serta puisi yang diciptakannya.
Bermodalkan kesadaran kritis, Taufiq ismail sebagai mahasiswa menyatakan keprihatinannya dan keberpihakan kepada penderitaan rakyat. Mereka juga rela berkorban jiwa raga menumbangkan kediktatoran demi Indonesia baru yang demokratis dan lebih baik. Begitu proses transisi selesai, dengan tertib mahasiswa turun panggung. Pengemban sejati amanah rakyat. Tahun tersebut para mahasiswa mendapat tekanan politik, yang mana terjadi pembungkaman suara mahasiswa, seperti pada tiap sajak yang di tulis oleh Taufiq ismail sebagai berikut:
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden 
Pada larik di atas bila di analogikan dari bawah presiden menekan menteri, sehingga menteri menekan rektor, rektor menekan dekan, dekan menekan dosen, dan dosen menekan mahasiswa. Sehingga tahun tersebut  suara mahasiswa sangat tertutup, dan terjadi pencekalan terhadap mahasiswa yang melakukan perong-rongan terhadap pemerintahan Soeharto.
Namun pada sajak yang ada di bawah ini terjadi adanya suatu klimaks, yang mana presiden sebenarnya takut terhadap suara mahasiswa karena merupakan suatu ancaman terhadap pemerintahan Presiden Soeharto pada saat itu. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Presiden takut pada mahasiswa”
Dalam puisi ini, Taufik ismail sangat jeli sekali dalam mengamati suasana keadaan politik pada tahun tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar