BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara
lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur
yang mempengaruhi lahirnya sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik
karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Menurut Wellek
& Warren (1956), unsur ekstrinsik adalah:
1. Keadaan
subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan
hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
2. Keadaan
psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan
prinsip psikologis dalam karya.
3. Keadaan
lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
4. Pandangan hidup
suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
Selain
itu latar belakang kehidupan pengarang sebagai bagian dari unsur ekstrinsik
sangat mempengaruhi karya sastra. Misalnya, pengarang yang berlatar belakang
budaya daerah tertentu, secara disadari atau tidak, akan memasukkan unsur
budaya tersebut ke dalam karya sastra. Dengan demikian, unsur ekstrinsik
tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra.
Unsur ekstrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada
akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang
mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat
karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat memahami keadaan
masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.
Analisis ini mengkaji tentang
unsur-unsur ekstrinsik dalam sebuah novel yang membahas dari latar belakang
agama, sosial, dan kehidupan pengarang.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
latar belakang keagamaan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja?
2. Apa
latar belakang sosial dalam novel tersebut?
3. Apa
latar belakang kehidupan pengarang novel tersebut?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari
analisis ini adalah:
1. Mengetahui
latar belakang keagamaan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja.
2. Dapat
menganalisis latar belakang sosial dalam novel tersebut.
3. Dapat
menganalisis dan mengetahui latar belakang pengarang dalam melahirkan karya
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Keagamaan
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Sebuah karya sastra bisa dikatakan
berhubungan erat dengan kepercayaan. Karya sastra sebagai
struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan
termasuk masalah keagamaan patut kita gali untuk diambil manfaatnya. Sebelum
kita menggalinya, terlebih dahulu kita harus mengetahui kriteria-kriteria
religus dalam sebuah karya sastra. Atmosuwito (1987-124) mengemukakan
kriteria-kriteria religius sebuah karya sastra:
(1) Penyerahan
diri, tunduk dan taat kepada sang pencipta.
(2) Kehidupan
yang penuh kemuliaan.
(3) Perasaan
batin yang ada hubungannya dengan Tuhan.
(4) Perasaan
berdosa.
(5) Perasaan
takut.
(6) Mengakui kebesaran Tuhan.
Dalam segi agama
novel Atheis menyuguhkan dua macam kelompok masyarakat yang berlainan
kepercayaan. Kelompok masyarakat pertama ialah kelompok masyarakat yang
mempercayai adanya Tuhan ( Theis ) dan sangat taat beribadah dalam memeluk
agama Islam, sedangkan kelompok masyarakat kedua ialah kelompok masyarakat yang
tidak mempercayai adanya Tuhan ( Atheis ), melainkan menganggap mesin atau
teknologi sebagai Tuhan mereka. Hal tersebut dapat
diketahui dalam kutipan dibawah ini:
“ Ayah dan ibuku
tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil jalan hidup yang
ditempuhnya dengan tasbih dan mukena. Iman islamnya sangat tebal. ...” (Hal.
11)
Sangat
berbanding terbalik dengan teman-teman dari tokoh utama yang tidak percaya akan
adanya tuhan. Seperti dalam kutipan berikut ini:
“Tuhan itu tidak ada. Yang ada
ialah teknik. Dan itulah Tuhan kita! Sebab tekniklah yang memberi kesempatan
hidup kita.”(Hal 123)
Berdasarkan
alur cerita yang disajikan oleh Achdiat bahwa novel ’’Atheis’’ menonjolkan tiga
bentuk manusia, pertama manusia yang theis. Manusia ini adalah tipe manusia
yang sangat teguh pendiriannya terhadap ajaran yang percaya adanya Tuhan Yang
Maha Esa. Manusia semacam ini menunjuk pada diri raden Wiradikarta (ayah
kandung Hasan). Dia sosok manusia yang percaya dan teguh terhadap ajaran.
Baginya ajaran tak bisa dikompromikan. Hl semacam ini juga terdapat pada para
kyai seperti guru Hasan. Kedua, manusia yang Atheis yaitu manusia yang
benar-benar tidak percaya adanya Tuhan.Yang menjadi contoh manusia seperti ini
adalah Rusli yang berpaham marxisme dan Anwar yang berpaham anarkis. Sedangkan
ketiga adalah tipe manusia yang tidak duanya, yaitu tidak theis dan juga
atheis. Manusia seperti ini ada pada diri Hasan. Ia terombang-ambingkan antara
theis dan dan atheis. Ia ragu dan bimbang. Ajaran yang lama menjadi goyah dan
ajaran yang baru belum meresap sepenuhnya.
Achdiat
membuka pintu baru dalam novel “Atheis” yang membicarakan tentang jiwa manusia
karena pengaruh ajaran ( isme ) Di sinilah yang menjadi ciri khas Achdiat dalam
novel ini. Sehingga novel “Atheis” menjadi besar dalam sastra indonesia. Achdiat
pernah mempelajari filsafat dan mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah
Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan
Gedebag, oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa terciptanya novel atheis berasal
dari pandangan-pandangan yang lahir dari Achdiat Kartamihardja. Hal tersebut
memberikan pesan bahwa kita harus mempunyai pendirian terhadap kepercayaan
(agama). Dan harus mau mendalaminya agar tidak mudah digoyahkan dengan
ajaran-ajaran baru yang menganggap bahwa tuhan itu tidak ada.
B. Latar Belakang Sosial
Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang
serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran karya
sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai objek
individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada objek kolektifnya.
Penggabungan objek individual terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya
menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur masyarakat tertentu. Keberadaan
sastra yang demikian, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen.
(Pradopo dalam Jabrohim 2001: 59).
Karya
sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah kejadian yang ada di
masyarakat. Seluruh kejadian dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian
yang pernah dan mungkin terjadi pada kehidupan sehari-hari. Sebagai fakta
kultural, karya sastra dianggap sebagai representasi kolektif yang secara umum
berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi dan kencenderungan
komunitas yang bersangkutan. Kedudukan sastra dalam kecenderungan ini sangat
penting, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam gejala
yang selalu berubah. Pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan
yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan
sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Adanya
realitas sosial dan lingkungan yang berada di sekitar pengarang menjadi bahan
dalam menciptakan karya sastra sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki
hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada
di sekitar pengarang.
Berkaitan
dengan novel Atheis, bahwa di dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat
yang semakin maju maka semakin pudarnya nilai-nilai agama, sehingga rasa
keragu-raguan mudah tumbuh karena kurang kuatnya pendirian apabila sudah
menyangkut tentang perasaan. Dalam pembahasan novel Atheis ini kita dapat
mengambil sebuah pelajaran tentang bagaimana kita bersikap dan kehati-hatian
dalam bertindak, apabila sudah menyangkut hal yang pribadi seperti kepercayaan
dan perasaan terhadap lawan jenis.
Pada
masa penjajahan Jepang faham-faham barat mulai berkembang sejak zaman
kesusastraan pujangga baru, perkembangan faham barat semakin luas di kalangan
cendikia-cendikia bangsa. Salah satu yang berkembang sangat cepat saat itu
adalah ideologi marxis yang dilahirkan sebagai sebuah konsep pemikiran untuk
melawan ketidakadilan cara hidup masyarakat kapitalis oleh seorang Jerman
bernama Karl Marx dan kemudian dipraktekkan dengan kejam oleh Lenin setelah
melalui perombakan faham komunisme dari Lenin.
Bangsa
Indonesia pada zaman itu mempunyai pengaruh dalam perkembangan gerakan komunis
yang bercampur dengan pengertian ideologi marxis dengan mengawali gebrakan-nya lewat
pemberontakan Madiun 1948. Bisa dipahami bahwa pada masa-masa penjajahan Jepang
perkembangan dan pengaruh pemikiran dan idiologi berkembang sangat pesat karena
dalam rangka pembebasan bangsa Indonesia dari masa penjajahan, sebagaimana pula
cerita novel Atheis ini, merupakan gerakan-gerakan awal dari
komunitas-komunitas yang masih berupa aksi kecil dan forum tukar pikiran demi
membina kemapanan pemahaman ideologi yang dikembangkan.
Pada
masa-masa itu juga, paham keagamaan tradisional masyarakatnya mulai berhadapan
dengan gaya hidup barat yang sangat terbatas dikenalkan oleh Belanda dan
ideologi komunis, yang sebaliknya sangat merakyat disebarkan oleh
pemikir-pemikir muda. Namun, sejarah membuktikan bahwa kemudian komunis
dihancurkan untuk selama-lamanya dari
bumi indonesia pada ujung peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
Novel
ini menggambarkan situasi sosial (dalam) pada masa itu (sehingga ia juga berupa
rekaman sejarah dalam beberapa hal), dan memperlihatkan suatu kondisi
psikologis yang ada pada sebuah individu yang hidup pada masa itu. Diceritakan
dalam novel bagaimana tokoh Hasan menderita beban pikiran sebab dia mulai
dirasuki pemikiran marxis yang bertentangan dengan keyakinan tradisionalnya
selama ini. Kemudian dia juga harus pula mewujudkan benih-benih cintanya pada
Kartini yang membuat dia memaksakan diri untuk tetap bergabung dalam komunitas
tersebut. Lalu, ternyata mendapatkan Kartini pun tidak membuat bahagia bagi
Hasan. Sebagai makhluk yang ternyata tetap tak bisa menghilangkan cara pikir
konservatifnya, Hasan berpisah dengan Kartini. Namun, belum berpisah dengan ke
marxis-annya.
Situasi
seperti ini menggambarkan pula bagaimana salah satu episode kemelut hidup yang
mungkin dihadapi oleh seorang anak bangsa pada masa itu. Sejarah menceritakan
bagaimana marxis dihabisi di bumi pertiwi dan kehidupan orde baru tidak memberi
tempat bagi kekalahan cara pikir tradisional seperti yang terjadi dalam novel
ini. Akhir hidup tragis yang dialami oleh tokoh Hasan barangkali dijadikan
suatu alasan bagi otoritas ideologi dewasa ini untuk tetap mempublikasi karya
ini, sebagai peringatan bukan teladan. Dan ideologi marxis tetap jadi masalah
hingga dewasa ini bagi pandangan hidup tradisional masyarakat Indonesia yang
malah berusaha menuju sistem hidup kapitalis.
C. Latar Belakang Kehidupan
Pengarang
Achdiat Karta Mihardja lahir di
Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010
pada umur 99 tahun. Pendidikannya Ia lalui di AMS (Algemene Middelbare School)
bagian A1 (Sastra dan Kebudayaan Timur) di Solo pada 1932 kemudian di Fakultas
Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia (1948-1950). Ia juga mempelajari
ajaran mistik (tarekat) aliran Qadariyah Naqsabandiyah dari Kiyai Abdullah
Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Selain itu belajar
filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam
Filsafat Thomisme.
Pada masa sebelum tahun 1945 Achdiat
adalah wartawan dan pegawai Balai Pustaka. Setelah tahun itu dia akrab bergaul
dengan Chairil Anwar dan kalangan orang-orang Republik. Dalam berpolitik ia
lebih cenderung pada Sjahrir. Ketika suasana menghangat dalam masa Orde Lama,
ia pindah ke Australia, dan seterusnya bermukim di Canberra. Hanya seorang
anaknya yang kini tinggal di Indonesia.
Karya sastra Achdiat umumnya
menyoroti tingkah laku manusia dari segi-segi kelemahannya. Plot-plot ceritanya
biasanya menarik, dengan penempatan tokoh-tokohnya dalam situasi tidak biasa.
Dari situasi demikian ia mengupas kelemahan-kelemahan dasar manusia yang
bersifat universal (umum).
Sebagai orang yang lahir dan
dibesarkan dalam keluarga Islam tradisional yang taat, Achdiat Karta Mihardja (AKM)
berhadapan dengan kebudayaan barat melalui pendidikan belanda. Ia menyerap
suasana religius kehidupan pesantren dan menerima kebudayaan barat lewat bahasa
sumbernya. Jadi, ke belakang, ia tak dapat lepas dari dogma agama, ke depan
terbentang harapan tentang manusia Indonesia yang tak dapat menghindar pengaruh
Barat.
Tarik-menarik antara masa lalu yang
religius—dogmatis dan masa depan yang profan—liberal lalu dianggap sebagai
pergulatan Timur—Barat. Puncaknya terjadi zaman Pujangga Baru. Itulah Polemik
Kebudayaan, meski AKM tak terlibat langsung. Sambil menyetir gagasan Sutan
Sjahrir (Pengantar Polemik Kebudayaan, 1948) sikap AKM tegas: “… kini tak usah
pilih-pilih antara Timur (yang feodalistik) dan Barat (yang kapitalistik),
sebab kedua-duanya akan silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam.”
AKM diterjang kegelisahan. Ia harus bersikap. Atheis (1949) itulah saluran
kegelisahannya.
Dari sekian banyak karyanya,
novel “Atheis “ bisa dibilang adalah
karyanya yang paling penting. Novel yang diterbitkan pada tahun 1949 ini
mengisahkan kegelisahan manusia mencari pegangan hidup di tengah pergeseran
nilai dalam masyarakat. Novel ini
menimbulkan perdebatan dalam masyarakat sejak penerbitannya yang pertama. Meski
begitu, novel yang merupakan salah satu puncak karya sastra Indonesia modern
ini telah berulang kali dicetak. RJ Maguire bahkan menerjemahkan novel ini ke
Bahasa Inggris pada 1972 dan sutradara Sjumandjaja juga pernah mengangkatnya ke
layar lebar pada 1974 dengan judul yang sama, yaitu Atheis. Berkat novel Atheis
ini, Achdiat dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada tahun 1969.
Sebelumnya, pada 1957, kumpulan cerpennya yang diberi judul Keretakan dan Ketegangan
mendapat hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Banyak unsur-unsur ekstrinsik yang
membangun sebuah karya sastra. Seperti latar belakang keagamaan, sosial,
kehidupan pengarang yang telah disebutkan dalam pembahasan diatas. Dengan analisis
unsur ekstrinsik ini, kita dapat mengetahui bahwa banyak sekali hal-hal yang
membangun lahirnya sebuah karya sastra. Bukan hanya dari dalam tapi juga dari
luar yang sangat berpengaruh lahirnya karya tersebut terutama novel yang
berjudul Atheis karya Achdiat K. Mihardja ini.
Mengingat dunia imajinatif dalam
karya sastra merupakan tiruan atas kehidupan sehari-hari (imitatioan of
reality). Maka karya sastra itu juga merupakan dokumen yang mencatat realitas
yang sudah terjadi sebagai hasil pemikiran pengarangnya. Dalam hal ini,
pengertian sastra sebagai refleksi realitas bukan semata-mata melaporkan
realitas itu sendiri. Tetapi melaporkan realitas yang sudah mengendap dan
memperoleh pemaknaan. Dengan demikian, karya sastra bukan hanya sekedar
pengalaman. Karya tersebut tidak lepas dari kreasi imajinatif. Jadi, pandangan
bahwa karya sastra sebagai dokumen realitas, harus dimaknai sebagai realitas
yang telah mengalami proses pengendapan panjang dalam pemikiran pengarangnya.
Dan yang paling utama adalah pemikiran yang menguasai penciptaan itu, pemikiran
yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Pemikiran itu sekaligus
menjadi cerminan pengalaman pengarang dalam kehidupannya dan berkaitan erat
dengan situasi sosial pada saat karya tersebut dilahirkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mihardja, A. K. 2006. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka.
Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Mahayana,
M. S. 2010. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
ACHDIAT KARTA MIHARDJA. (Online). (http://sastra-indonesia.com/2010/09/perkembangan-pemikiran-achdiat-karta-mihardja/).
Diakses pada tanggal 6 Jauari 2013.
Rokhmansyah,
A. 2010. SASTRA SEBAGAI CERMINAN
MASYARAKAT. (Online). (http://phianzsotoy.blogspot.com/2010/06/sastra-sebagai-cermin-masyarakat.html).
Diakses pada tanggal 6 Januari 2013.
Saraswati,
Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra, Sebuah
Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.