Selasa, 14 Mei 2013

analisis intrinsik novel atheis



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang mempengaruhi lahirnya sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Menurut Wellek & Warren (1956), unsur ekstrinsik adalah:
1. Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
2. Keadaan psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip psikologis dalam karya.
3. Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
4. Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
            Selain itu latar belakang kehidupan pengarang sebagai bagian dari unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi karya sastra. Misalnya, pengarang yang berlatar belakang budaya daerah tertentu, secara disadari atau tidak, akan memasukkan unsur budaya tersebut ke dalam karya sastra. Dengan demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur ekstrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat memahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.
            Analisis ini mengkaji tentang unsur-unsur ekstrinsik dalam sebuah novel yang membahas dari latar belakang agama, sosial, dan kehidupan pengarang.



Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa latar belakang keagamaan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja?
2.      Apa latar belakang sosial dalam novel tersebut?
3.      Apa latar belakang kehidupan pengarang novel tersebut?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari analisis ini adalah:
1.      Mengetahui latar belakang keagamaan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja.
2.      Dapat menganalisis latar belakang sosial dalam novel tersebut.
3.      Dapat menganalisis dan mengetahui latar belakang pengarang dalam melahirkan karya tersebut.













BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Keagamaan
            Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Sebuah karya sastra bisa dikatakan berhubungan erat dengan kepercayaan. Karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan patut kita gali untuk diambil manfaatnya. Sebelum kita menggalinya, terlebih dahulu kita harus mengetahui kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra. Atmosuwito (1987-124) mengemukakan kriteria-kriteria religius sebuah karya sastra:
(1) Penyerahan diri, tunduk dan taat kepada sang pencipta.
(2) Kehidupan yang penuh kemuliaan.
(3) Perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan.
(4) Perasaan berdosa.
(5) Perasaan takut.
(6) Mengakui kebesaran Tuhan.
            Dalam segi agama novel Atheis menyuguhkan dua macam kelompok masyarakat yang berlainan kepercayaan. Kelompok masyarakat pertama ialah kelompok masyarakat yang mempercayai adanya Tuhan ( Theis ) dan sangat taat beribadah dalam memeluk agama Islam, sedangkan kelompok masyarakat kedua ialah kelompok masyarakat yang tidak mempercayai adanya Tuhan ( Atheis ), melainkan menganggap mesin atau teknologi sebagai Tuhan mereka. Hal tersebut dapat diketahui dalam kutipan dibawah ini:
“ Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil jalan hidup yang ditempuhnya dengan tasbih dan mukena. Iman islamnya sangat tebal. ...” (Hal. 11)
Sangat berbanding terbalik dengan teman-teman dari tokoh utama yang tidak percaya akan adanya tuhan. Seperti dalam kutipan berikut ini:
“Tuhan itu tidak ada. Yang ada ialah teknik. Dan itulah Tuhan kita! Sebab tekniklah yang memberi kesempatan hidup kita.”(Hal 123)
                                                                                                                                           
Berdasarkan alur cerita yang disajikan oleh Achdiat bahwa novel ’’Atheis’’ menonjolkan tiga bentuk manusia, pertama manusia yang theis. Manusia ini adalah tipe manusia yang sangat teguh pendiriannya terhadap ajaran yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia semacam ini menunjuk pada diri raden Wiradikarta (ayah kandung Hasan). Dia sosok manusia yang percaya dan teguh terhadap ajaran. Baginya ajaran tak bisa dikompromikan. Hl semacam ini juga terdapat pada para kyai seperti guru Hasan. Kedua, manusia yang Atheis yaitu manusia yang benar-benar tidak percaya adanya Tuhan.Yang menjadi contoh manusia seperti ini adalah Rusli yang berpaham marxisme dan Anwar yang berpaham anarkis. Sedangkan ketiga adalah tipe manusia yang tidak duanya, yaitu tidak theis dan juga atheis. Manusia seperti ini ada pada diri Hasan. Ia terombang-ambingkan antara theis dan dan atheis. Ia ragu dan bimbang. Ajaran yang lama menjadi goyah dan ajaran yang baru belum meresap sepenuhnya.
Achdiat membuka pintu baru dalam novel “Atheis” yang membicarakan tentang jiwa manusia karena pengaruh ajaran ( isme ) Di sinilah yang menjadi ciri khas Achdiat dalam novel ini. Sehingga novel “Atheis” menjadi besar dalam sastra indonesia. Achdiat pernah mempelajari filsafat dan mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag, oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa terciptanya novel atheis berasal dari pandangan-pandangan yang lahir dari Achdiat Kartamihardja. Hal tersebut memberikan pesan bahwa kita harus mempunyai pendirian terhadap kepercayaan (agama). Dan harus mau mendalaminya agar tidak mudah digoyahkan dengan ajaran-ajaran baru yang menganggap bahwa tuhan itu tidak ada.

B. Latar Belakang Sosial
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai objek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada objek kolektifnya. Penggabungan objek individual terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen. (Pradopo dalam Jabrohim 2001: 59).
Karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah kejadian yang ada di masyarakat. Seluruh kejadian dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi pada kehidupan sehari-hari. Sebagai fakta kultural, karya sastra dianggap sebagai representasi kolektif yang secara umum berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi dan kencenderungan komunitas yang bersangkutan. Kedudukan sastra dalam kecenderungan ini sangat penting, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam gejala yang selalu berubah. Pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Adanya realitas sosial dan lingkungan yang berada di sekitar pengarang menjadi bahan dalam menciptakan karya sastra sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang.
Berkaitan dengan novel Atheis, bahwa di dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang semakin maju maka semakin pudarnya nilai-nilai agama, sehingga rasa keragu-raguan mudah tumbuh karena kurang kuatnya pendirian apabila sudah menyangkut tentang perasaan. Dalam pembahasan novel Atheis ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran tentang bagaimana kita bersikap dan kehati-hatian dalam bertindak, apabila sudah menyangkut hal yang pribadi seperti kepercayaan dan perasaan terhadap lawan jenis.
Pada masa penjajahan Jepang faham-faham barat mulai berkembang sejak zaman kesusastraan pujangga baru, perkembangan faham barat semakin luas di kalangan cendikia-cendikia bangsa. Salah satu yang berkembang sangat cepat saat itu adalah ideologi marxis yang dilahirkan sebagai sebuah konsep pemikiran untuk melawan ketidakadilan cara hidup masyarakat kapitalis oleh seorang Jerman bernama Karl Marx dan kemudian dipraktekkan dengan kejam oleh Lenin setelah melalui perombakan faham komunisme dari Lenin.
Bangsa Indonesia pada zaman itu mempunyai pengaruh dalam perkembangan gerakan komunis yang bercampur dengan pengertian ideologi marxis dengan mengawali gebrakan-nya lewat pemberontakan Madiun 1948. Bisa dipahami bahwa pada masa-masa penjajahan Jepang perkembangan dan pengaruh pemikiran dan idiologi berkembang sangat pesat karena dalam rangka pembebasan bangsa Indonesia dari masa penjajahan, sebagaimana pula cerita novel Atheis ini, merupakan gerakan-gerakan awal dari komunitas-komunitas yang masih berupa aksi kecil dan forum tukar pikiran demi membina kemapanan pemahaman ideologi yang dikembangkan.
Pada masa-masa itu juga, paham keagamaan tradisional masyarakatnya mulai berhadapan dengan gaya hidup barat yang sangat terbatas dikenalkan oleh Belanda dan ideologi komunis, yang sebaliknya sangat merakyat disebarkan oleh pemikir-pemikir muda. Namun, sejarah membuktikan bahwa kemudian komunis dihancurkan  untuk selama-lamanya dari bumi indonesia pada ujung peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
Novel ini menggambarkan situasi sosial (dalam) pada masa itu (sehingga ia juga berupa rekaman sejarah dalam beberapa hal), dan memperlihatkan suatu kondisi psikologis yang ada pada sebuah individu yang hidup pada masa itu. Diceritakan dalam novel bagaimana tokoh Hasan menderita beban pikiran sebab dia mulai dirasuki pemikiran marxis yang bertentangan dengan keyakinan tradisionalnya selama ini. Kemudian dia juga harus pula mewujudkan benih-benih cintanya pada Kartini yang membuat dia memaksakan diri untuk tetap bergabung dalam komunitas tersebut. Lalu, ternyata mendapatkan Kartini pun tidak membuat bahagia bagi Hasan. Sebagai makhluk yang ternyata tetap tak bisa menghilangkan cara pikir konservatifnya, Hasan berpisah dengan Kartini. Namun, belum berpisah dengan ke marxis-annya.
Situasi seperti ini menggambarkan pula bagaimana salah satu episode kemelut hidup yang mungkin dihadapi oleh seorang anak bangsa pada masa itu. Sejarah menceritakan bagaimana marxis dihabisi di bumi pertiwi dan kehidupan orde baru tidak memberi tempat bagi kekalahan cara pikir tradisional seperti yang terjadi dalam novel ini. Akhir hidup tragis yang dialami oleh tokoh Hasan barangkali dijadikan suatu alasan bagi otoritas ideologi dewasa ini untuk tetap mempublikasi karya ini, sebagai peringatan bukan teladan. Dan ideologi marxis tetap jadi masalah hingga dewasa ini bagi pandangan hidup tradisional masyarakat Indonesia yang malah berusaha menuju sistem hidup kapitalis.

C. Latar Belakang Kehidupan Pengarang                                                                               
Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010 pada umur 99 tahun. Pendidikannya Ia lalui di AMS (Algemene Middelbare School) bagian A1 (Sastra dan Kebudayaan Timur) di Solo pada 1932 kemudian di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia (1948-1950). Ia juga mempelajari ajaran mistik (tarekat) aliran Qadariyah Naqsabandiyah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Selain itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme.
Pada masa sebelum tahun 1945 Achdiat adalah wartawan dan pegawai Balai Pustaka. Setelah tahun itu dia akrab bergaul dengan Chairil Anwar dan kalangan orang-orang Republik. Dalam berpolitik ia lebih cenderung pada Sjahrir. Ketika suasana menghangat dalam masa Orde Lama, ia pindah ke Australia, dan seterusnya bermukim di Canberra. Hanya seorang anaknya yang kini tinggal di Indonesia.
Karya sastra Achdiat umumnya menyoroti tingkah laku manusia dari segi-segi kelemahannya. Plot-plot ceritanya biasanya menarik, dengan penempatan tokoh-tokohnya dalam situasi tidak biasa. Dari situasi demikian ia mengupas kelemahan-kelemahan dasar manusia yang bersifat universal (umum).
Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga Islam tradisional yang taat, Achdiat Karta Mihardja (AKM) berhadapan dengan kebudayaan barat melalui pendidikan belanda. Ia menyerap suasana religius kehidupan pesantren dan menerima kebudayaan barat lewat bahasa sumbernya. Jadi, ke belakang, ia tak dapat lepas dari dogma agama, ke depan terbentang harapan tentang manusia Indonesia yang tak dapat menghindar pengaruh Barat.
Tarik-menarik antara masa lalu yang religius—dogmatis dan masa depan yang profan—liberal lalu dianggap sebagai pergulatan Timur—Barat. Puncaknya terjadi zaman Pujangga Baru. Itulah Polemik Kebudayaan, meski AKM tak terlibat langsung. Sambil menyetir gagasan Sutan Sjahrir (Pengantar Polemik Kebudayaan, 1948) sikap AKM tegas: “… kini tak usah pilih-pilih antara Timur (yang feodalistik) dan Barat (yang kapitalistik), sebab kedua-duanya akan silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam.” AKM diterjang kegelisahan. Ia harus bersikap. Atheis (1949) itulah saluran kegelisahannya.
Dari sekian banyak karyanya, novel  “Atheis “ bisa dibilang adalah karyanya yang paling penting. Novel yang diterbitkan pada tahun 1949 ini mengisahkan kegelisahan manusia mencari pegangan hidup di tengah pergeseran nilai dalam masyarakat.  Novel ini menimbulkan perdebatan dalam masyarakat sejak penerbitannya yang pertama. Meski begitu, novel yang merupakan salah satu puncak karya sastra Indonesia modern ini telah berulang kali dicetak. RJ Maguire bahkan menerjemahkan novel ini ke Bahasa Inggris pada 1972 dan sutradara Sjumandjaja juga pernah mengangkatnya ke layar lebar pada 1974 dengan judul yang sama, yaitu Atheis. Berkat novel Atheis ini, Achdiat dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada tahun 1969. Sebelumnya, pada 1957, kumpulan cerpennya yang diberi judul Keretakan dan Ketegangan mendapat hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Banyak unsur-unsur ekstrinsik yang membangun sebuah karya sastra. Seperti latar belakang keagamaan, sosial, kehidupan pengarang yang telah disebutkan dalam pembahasan diatas. Dengan analisis unsur ekstrinsik ini, kita dapat mengetahui bahwa banyak sekali hal-hal yang membangun lahirnya sebuah karya sastra. Bukan hanya dari dalam tapi juga dari luar yang sangat berpengaruh lahirnya karya tersebut terutama novel yang berjudul Atheis karya Achdiat K. Mihardja ini.
Mengingat dunia imajinatif dalam karya sastra merupakan tiruan atas kehidupan sehari-hari (imitatioan of reality). Maka karya sastra itu juga merupakan dokumen yang mencatat realitas yang sudah terjadi sebagai hasil pemikiran pengarangnya. Dalam hal ini, pengertian sastra sebagai refleksi realitas bukan semata-mata melaporkan realitas itu sendiri. Tetapi melaporkan realitas yang sudah mengendap dan memperoleh pemaknaan. Dengan demikian, karya sastra bukan hanya sekedar pengalaman. Karya tersebut tidak lepas dari kreasi imajinatif. Jadi, pandangan bahwa karya sastra sebagai dokumen realitas, harus dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses pengendapan panjang dalam pemikiran pengarangnya. Dan yang paling utama adalah pemikiran yang menguasai penciptaan itu, pemikiran yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Pemikiran itu sekaligus menjadi cerminan pengalaman pengarang dalam kehidupannya dan berkaitan erat dengan situasi sosial pada saat karya tersebut dilahirkan.







DAFTAR PUSTAKA
Mihardja, A. K. 2006. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Mahayana, M. S. 2010. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ACHDIAT KARTA MIHARDJA. (Online). (http://sastra-indonesia.com/2010/09/perkembangan-pemikiran-achdiat-karta-mihardja/). Diakses pada tanggal 6 Jauari 2013.
Rokhmansyah, A. 2010. SASTRA SEBAGAI CERMINAN MASYARAKAT. (Online). (http://phianzsotoy.blogspot.com/2010/06/sastra-sebagai-cermin-masyarakat.html). Diakses pada tanggal 6 Januari 2013.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra, Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.















makalah periodisasi sastra angkatan 66



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembagian zaman atau periodisasi sastra Indonesia modern sampai saat ini memang masih menjadi tahap perdebatan. Bagaimanapun banyaknya pembabakan waktu yang pernah diajukan dalam sejarah sastra Indonesia, namun pembabakan yang telah umum dipakai selalu kembali pada nama-nama angkatan. Angkatan demi angkatan itu muncul hampir 10 tahun atau 15 tahun sekali. Jadi dapatlah pula kita menamakan angkatan-angkatan itu sebagai generasi berdasarkan usianya. Tiap 10 atau 15 tahun sekali di Indonesia selalu muncul angkatan baru dalam sastra Indonesia. Selama waktu itu pengalaman dan situasi masing-masing generasi rupanya agak berbeda sehingga melahirkan ciri-ciri tersendiri pada angkatannya.
Masing-masing angkatan sastra dimulai dengan munculnya sekumpulan sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang hampir sama dalam majalah atau penerbitan yang sama. Sastra Balai Pustaka dimulai tahun1920. Para penulis Balai Pustaka yang mula-mula menulis sekitar tahun 1920-an adalah mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1895-an. Ada yang lebih dahulu ada yang lebih kemudian. Sastra Pujangga Baru diisi oleh para sastrawan yang dilahirkan sekitar tahun 1910-an.








B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah sejarah angkatan 66?
b.      Apa sajakah ciri-ciri karya sastra angkatan 66?
c.       Apa gaya bahasa angkatan 66?
d.      Apa unsur estetik angkatan 66?
e.       Siapa sajakah pengarang angkatan 66 dan apa sajakah karya pengarang tersebut?




C.     Tujuan Masalah
a.       Mengetahui sejarah angkatan 66.
b.      Mengetahui ciri-ciri karya sastra angkatan66.
c.       Mengetahui gaya bahasa angkatan 66.
d.      Mengetahui unsur estetik angkatan 66.
e.       Mengetahui pengarang dan karyanya angkatan 66.












BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Angkatan 66

Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman; ia lahir mendahului jamannya. Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.







Ciri-ciri Angkatan 66

·         Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada).
·         Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita.
·         Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan.
·         Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik pemerintahan lebih banyak mengemuka.
·         Banyak terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi.
·         Muncul puisi mantra dan prosa surealisme (absurd) pada awal tahun 1970-an yang banyak berisi tentang kritik sosial dan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah.

Gaya Bahasa Angkatan 66
Menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran,  bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dan PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan  yang sempat berseteru dengan LEKRA.






Unsur Estetik Angkatan 66
Angkatan ini lahir di antara anak-anak muda dalam barisan perjuangan. Angkatan ini mendobrak kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin yang salah urus. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah: bercorak perjuangan antitirani, protes politik, anti kezaliman dan kebatilan, bercorak membela keadilan, mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan, berontak terhadap ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila, berisi protes sosial dan politik. Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra pada masa Angkatan ’66 antara lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail).

Penulis dan Karya Sastra










BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, penulis dapat mengemukakan beberapa simpulan berikut :
1.      Angkatan Sastra tahun 1966 dilatarbelakangi oleh keinginan menegakkan keadilan, protes sosial dan politik.
2.      Tokoh yang terkenal dalam angkatan ini salah satunya adalah Sutardji Calzoum Bahri.
3.       Salah satu ciri sastra pada masa Angkatan 66 adalah menonjolkan dengan menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran.

3.2. Saran
Disarankan  kepada seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia agar lebih giat lagi mempelajari matakuliah Apresiasi Prosa mengingat pentingnya pengetahuan akan pembentukan kata bagi calon tenaga pengajar. Oleh karena itu, kami selaku penulis berharap agar makalah ini mampu menjadi tambahan referensi untuk memahami angkatan pujangga baru dengan baik dan benar.






Daftar Rujukan
Agni, Binar. 2008. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta:Hi Fest Publishing.

     SastraHolic. 2008. Sejarah singkat tentang Angkatan 66, (Online),  (http://sastralife.wordpress.com/sastra-indonesia/sejarah-singkat-tentang-angkatan-66/), diakses pada tanggal 20 Mei 2012.


Wulandari, D. 2010. ciri-ciri karya sastra angkatan 1966, (Online), (http://cafesenja.blogspot.com/2010/12/ciri-ciri-karya-sastra-angkatan-66_05.html), diakses pada tanggal  20 Mei 2012.