SBI
= Bertaraf Internasional ataukah Bertarif Internasional?
Oleh:
Erfanda Hadi Prasetyo
Tidak dapat dipungkiri kemajuan
teknologi dan kuatnya arus globalisasi membuat negara Indonesia berusaha sekuat
mungkin untuk memperbaiki dan meningkatkan Sumber Daya Manusia yang telah ada
saat ini. Berangkat dari masalah tersebut, pemerintah mencoba memberikan sebuah
solusi yang dipercaya mampu untuk mengatasinya. Sistem tersebut dinamakan
Sekolah Bertaraf Internasional atau yang biasa disebut SBI.
Secara definitif, SBI adalah sekolah
yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan (SNP) yang
meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Kedelapan aspek SNP ini
kemudian diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, dan diperluas melalui
adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota organization
for economic co-operation and development (OECD) dan/atau negara maju lainnya,
yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, serta diyakini
telah mempunyai reputasi mutu yang diakui secara internasional. Dengan
demikian, diharapkan SBI mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam
penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi standarnya
daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjukkan kepada masyarakat nasional
maupun internasional melalui berbagai strategi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Namun pertanyaan pertama adalah
mulainya program tersebut hingga saat ini mengapa masih banyak polemik yang
timbul, sedangkan sebelumnya telah dikatakan bahwa SBI bisa meningkatkan
kualitas sumber daya manusia di negeri ini. Salah satu masalah yang menjadikan
banyaknya polemik adalah kesalahan konsep tentang SBI itu sendiri. Mari kita
lihat dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) dalam yang berbunyi sebagai
berikut:
3) Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.
Istilah
‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ itu kemudian diterjemahkan
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya
dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada
PP no 17 tahun 2010 ini frase “satuan pendidikan yang bertaraf internasional”
dalam UU sisdiknas telah berubah menjadi “Pendidikan bertaraf internasional”
dan kemudian dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf
internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada
tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada awalnya
pernyataan dalam UU Sisdiknas adalah merujuk kepada sebuah tingkatan keunggulan
kualitas yang harus dicapai (yang diberi istilah “bertaraf internasional”)
sedangkan pada PP no 17 tahun 2010 telah berubah makna menjadi sebuah sistem
pendidikan yang terpisah dan kemudian berkembang dalam sebuah Peraturan Menteri
(Permen 78 Tahun 2009). Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘satuan pendidikan
yang bertaraf internasional’. Tapi kita
sebenarnya bisa menelusuri dari mana dan mengapa muncul istilah ‘satuan
pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut.
Rupanya
pemerintah (dalam hal ini adalah Kemdiknas atau dulunya Departemen Pendidikan
Nasional) menganggap bahwa pendidikan Indonesia ketingggalan dalam banyak hal
di bidang pendidikan dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain sehingga
harus ada upaya dan program tertentu yang akan dapat mendongkrak ketertinggalan
ini. Pendidikan Indonesia harus juga setara dan sama baiknya dengan pendidikan
di negara-negara maju lainnya sehingga pendidikan Indonesia diakui oleh dunia
internasional. Dari situlah muncul istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf
internasional’ yang tidak jelas rujukannya ini.
Selanjutnya
bisa kita ketahui banyak permasalahan yang muncul akibat kesalahan konsep
tersebut seperti Selama ini pendidikan pada RSBI dan SBI sangat sering
diartikan sebagai sekolah yang harus menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar. Padahal, pada tingkat sekolah dasar, penggunaan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar sangat berbahaya. Paling tidak inilah hasil penelitian
Hywel Coleman, peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of
Leeds, Inggris. Hasil penelitiannya sangat relevan dengan polemik yang
mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI
dan SBI. Idealnya menurut Hywel, anak harus melek huruf atau belajar membaca
dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru kemudian diperkuat dengan bahasa
Inggris. Jika anak tidak diberi kesempatan untuk menguasai konsep-konsep dasar
melalui bahasa ibu di tingkat SD, dampak negatifnya akan terasa pada
keberhasilannya dalam proses pendidikan selanjutnya. Hywel mengambil sampel
penelitian di sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang menggunakan
konsep pengajaran bilingual (dwi bahasa) seperti di Korea Selatan, Thailand dan
Indonesia. Dan yang ironis dan menyedihkan menurut Hywel bahwa di Indonesia
tingkat bahayanya paling tinggi.
Korea
Selatan misalnya, diperoleh fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar
dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilannya
mencapai angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negara terendah karena hanya
mencapai angka 10 persen. Bagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan label
internasional, tentu tidak bisa seenaknya menggunakan metode bilingual tanpa
dukungan kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. Memang, yang kita harapkan
dari lulusan SBI adalah menguasai kemampuan kunci-kunci global namun harus
tetap berjati diri dan berbudaya Indonesia. Kita semua berharap semoga
Pemerintah dapat lebih bijaksana dalam menyikapi masalah RSBI dan SBI, karena
menyangkut pendidikan calon pemimpin bangsa di masa depan.
Penggunaan kata atau istilah “bertaraf
internasional” akhirnya menimbulkan banyak program-program yang dipaksakan agar
dapat memenuhi kriteria bertaraf internasional tersebut. Penggunaan standar
ISO, pengadopsian sistem Cambridge, IBO, Sister School yang dimaksudkan untuk
memberikan jabatan sebagai “bertaraf internasional” sebetulnya tidaklah berarti atau hiasan saja.
Hal ini menimbulkan konsekuensi dan resiko di bidang akademik maupun biaya yang
mubazir. Istilah “bertaraf internasional” ini kemudian diterjemahkan dan
diinterpretasikan secara bebas tanpa kajian dan studi yang layak. Penekanan
pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop,
LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa
bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih
menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih
seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka.
Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Sekolah
menafsirkan SBI itu sarananya harus wah, ada laptop, hotspot, AC, VCD. Padahal
pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat. ‘Internasionalisasi’
pendidikan dipandang dari segi fasilitasnya dan bukan pada prosesnya.
Banyaknya
fasilitas mewah sebagai pendukung sekolah internasional membuat biaya sumbangan
pendidikan kepada calon peserta didik melambung tinggi. Hal ini juga membawa
dampak bagi calon peserta didik yang dapat dikatakan kemampuan ekonomi rendah menjadi terkesan “takut” untuk
mendaftarkan diri. Program ini telah memberi wewenang kepada sekolah untuk
melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh
pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya
secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah
pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini
sekolah-sekolah publik SBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam
memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah SBI menarik dana dari
masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat
mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh
pemerintah dan “haram” sifatnya menjadi komersial.
Memang,
semua paham bahwa pendidikan yang baik memerlukan biaya mahal. Namun, biaya
yang mahal ini seharusnya menjadi tanggungjawab negara. sebab, negara
bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan bagi warganya agar seluruh rakyat berpendidikan
sehingga mampu bersaing dengan tenaga-tenaga profesional dari mancanegara.
Sistem pendidikan yang menutup kesempatan bagi orang tidak mampu untuk
bersekolah di tempat yang baik hanya akan melahirkan bangsa kuli. Sementara
biaya pendidikan yang semakin mahal, ternyata belum mampu menghasilkan SDM
berkualitas. Hal yang memprihatinkan, dari tahun ke tahun tampaknya kualitas
SDM kita tidak menunjukkan perbaikan yang berarti ditinjau dari peringkat human
development index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP. Langkah awal untuk berusaha
menuju pendidikan yang berkualitas sudah melenceng jauh. Perlukah pembenahan
dan tetap dijalankan atau dibubarkan saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar