Selasa, 20 November 2012

SBI?


SBI = Bertaraf Internasional ataukah Bertarif Internasional?
Oleh: Erfanda Hadi Prasetyo

            Tidak dapat dipungkiri kemajuan teknologi dan kuatnya arus globalisasi membuat negara Indonesia berusaha sekuat mungkin untuk memperbaiki dan meningkatkan Sumber Daya Manusia yang telah ada saat ini. Berangkat dari masalah tersebut, pemerintah mencoba memberikan sebuah solusi yang dipercaya mampu untuk mengatasinya. Sistem tersebut dinamakan Sekolah Bertaraf Internasional atau yang biasa disebut SBI.
            Secara definitif, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Kedelapan aspek SNP ini kemudian diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, dan diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota organization for economic co-operation and development (OECD) dan/atau negara maju lainnya, yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, serta diyakini telah mempunyai reputasi mutu yang diakui secara internasional. Dengan demikian, diharapkan SBI mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjukkan kepada masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai strategi yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Namun pertanyaan pertama adalah mulainya program tersebut hingga saat ini mengapa masih banyak polemik yang timbul, sedangkan sebelumnya telah dikatakan bahwa SBI bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia di negeri ini. Salah satu masalah yang menjadikan banyaknya polemik adalah kesalahan konsep tentang SBI itu sendiri. Mari kita lihat dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) dalam yang berbunyi sebagai berikut:
  3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.


Istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ itu kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
    “Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada PP no 17 tahun 2010 ini frase “satuan pendidikan yang bertaraf internasional” dalam UU sisdiknas telah berubah menjadi “Pendidikan bertaraf internasional” dan kemudian dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada awalnya pernyataan dalam UU Sisdiknas adalah merujuk kepada sebuah tingkatan keunggulan kualitas yang harus dicapai (yang diberi istilah “bertaraf internasional”) sedangkan pada PP no 17 tahun 2010 telah berubah makna menjadi sebuah sistem pendidikan yang terpisah dan kemudian berkembang dalam sebuah Peraturan Menteri (Permen 78 Tahun 2009). Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘satuan pendidikan yang bertaraf  internasional’. Tapi kita sebenarnya bisa menelusuri dari mana dan mengapa muncul istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut.
Rupanya pemerintah (dalam hal ini adalah Kemdiknas atau dulunya Departemen Pendidikan Nasional) menganggap bahwa pendidikan Indonesia ketingggalan dalam banyak hal di bidang pendidikan dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain sehingga harus ada upaya dan program tertentu yang akan dapat mendongkrak ketertinggalan ini. Pendidikan Indonesia harus juga setara dan sama baiknya dengan pendidikan di negara-negara maju lainnya sehingga pendidikan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Dari situlah muncul istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ yang tidak jelas rujukannya ini.
Selanjutnya bisa kita ketahui banyak permasalahan yang muncul akibat kesalahan konsep tersebut seperti Selama ini pendidikan pada RSBI dan SBI sangat sering diartikan sebagai sekolah yang harus menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Padahal, pada tingkat sekolah dasar, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sangat berbahaya. Paling tidak inilah hasil penelitian Hywel Coleman, peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris. Hasil penelitiannya sangat relevan dengan polemik yang mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI dan SBI. Idealnya menurut Hywel, anak harus melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru kemudian diperkuat dengan bahasa Inggris. Jika anak tidak diberi kesempatan untuk menguasai konsep-konsep dasar melalui bahasa ibu di tingkat SD, dampak negatifnya akan terasa pada keberhasilannya dalam proses pendidikan selanjutnya. Hywel mengambil sampel penelitian di sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang menggunakan konsep pengajaran bilingual (dwi bahasa) seperti di Korea Selatan, Thailand dan Indonesia. Dan yang ironis dan menyedihkan menurut Hywel bahwa di Indonesia tingkat bahayanya paling tinggi.
Korea Selatan misalnya, diperoleh fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilannya mencapai angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negara terendah karena hanya mencapai angka 10 persen. Bagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan label internasional, tentu tidak bisa seenaknya menggunakan metode bilingual tanpa dukungan kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. Memang, yang kita harapkan dari lulusan SBI adalah menguasai kemampuan kunci-kunci global namun harus tetap berjati diri dan berbudaya Indonesia. Kita semua berharap semoga Pemerintah dapat lebih bijaksana dalam menyikapi masalah RSBI dan SBI, karena menyangkut pendidikan calon pemimpin bangsa di masa depan.
 Penggunaan kata atau istilah “bertaraf internasional” akhirnya menimbulkan banyak program-program yang dipaksakan agar dapat memenuhi kriteria bertaraf internasional tersebut. Penggunaan standar ISO, pengadopsian sistem Cambridge, IBO, Sister School yang dimaksudkan untuk memberikan jabatan sebagai “bertaraf internasional”  sebetulnya tidaklah berarti atau hiasan saja. Hal ini menimbulkan konsekuensi dan resiko di bidang akademik maupun biaya yang mubazir. Istilah “bertaraf internasional” ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara bebas tanpa kajian dan studi yang layak. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Sekolah menafsirkan SBI itu sarananya harus wah, ada laptop, hotspot, AC, VCD. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat. ‘Internasionalisasi’ pendidikan dipandang dari segi fasilitasnya dan bukan pada prosesnya.
Banyaknya fasilitas mewah sebagai pendukung sekolah internasional membuat biaya sumbangan pendidikan kepada calon peserta didik melambung tinggi. Hal ini juga membawa dampak bagi calon peserta didik yang dapat dikatakan kemampuan ekonomi  rendah menjadi terkesan “takut” untuk mendaftarkan diri. Program ini telah memberi wewenang kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik SBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah SBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan “haram” sifatnya menjadi komersial.
Memang, semua paham bahwa pendidikan yang baik memerlukan biaya mahal. Namun, biaya yang mahal ini seharusnya menjadi tanggungjawab negara. sebab, negara bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan bagi warganya agar seluruh rakyat berpendidikan sehingga mampu bersaing dengan tenaga-tenaga profesional dari mancanegara. Sistem pendidikan yang menutup kesempatan bagi orang tidak mampu untuk bersekolah di tempat yang baik hanya akan melahirkan bangsa kuli. Sementara biaya pendidikan yang semakin mahal, ternyata belum mampu menghasilkan SDM berkualitas. Hal yang memprihatinkan, dari tahun ke tahun tampaknya kualitas SDM kita tidak menunjukkan perbaikan yang berarti ditinjau dari peringkat human development index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP. Langkah awal untuk berusaha menuju pendidikan yang berkualitas sudah melenceng jauh. Perlukah pembenahan dan tetap dijalankan atau dibubarkan saja?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar